Cari Disini

Minggu, 11 Oktober 2020

SEBENTUK TRAGEDI KEMANUSIAAN AKIBAT JAHIL MURAKKAB

 SEBENTUK TRAGEDI KEMANUSIAAN AKIBAT JAHIL MURAKKAB

🌹🇸🇦🌷

(Renan Rahardian)

====================


Ketidaktahuan dan kesalahpahaman seringkali mendatangkan bencana besar yang tidak terbayangkan sebelum terjadinya.


Kejahilan (terhadap ilmu agama) itu sendiri adalah sebuah bencana yang besar bagi seseorang. Lantas bagaimana jika kejahilan itu menyebabkan kematian banyak manusia di masa depan?


Meskipun benar bahwa sebuah bencana bisa jadi merupakan akibat dari banyak sebab yang berkombinasi, mengetahui bahwa sebab dari bencana tersebut didominasi oleh pemahaman yang keliru tetap menjadi hal yang sangat memprihatinkan. 


Mari kita bahas salah satu contoh tentang kesalahan pengetahuan di dalam perkara syariat telah membawa kepada tragedi berulang yang merenggut nyawa manusia di dalam ibadah haji.


---------------------------------

Berikut ini beberapa tragedi yang tercatat pernah terjadi dalam pelaksanaan haji:


*1) 02 Juli 1990*

Sebanyak *1.426 jamaah tewas* karena berdesak-desakan dan terinjak dalam terowongan Al Maaisim. Terowongan itu menghubungkan Mekkah ke Mina dan Arafat. Peristiwa ini dikenal dengan tragedi terowongan Mina.


*2) 23 Mei 1994*

Sebanyak *270 jamaah meninggal* dalam ritual lempar jumrah di Mina.


*3) 09 April 1998*

Sebanyak *118 jamaah meninggal dan 180 lainnya terluka* dalam insiden di jembatan Jamarat untuk melempar jumrah.


*4) 05 Maret 2001*

Ritual lempar jumrah kembali menelan *korban 35 jamaah* haji.


*5) 01 Februari 2004*

Ritual lempar jumrah kembali menelan korban. Sebanyak *251 jemaah tewas dan 244 lainnya terluka* akibat terkena lemparan batu jemaah lain dan terinjak-injak. Hal ini terjadi akibat saling dorong antarjamaah.

-------------------------------------------


Meskipun pengkajian mengenai sebab tragedi-tragedi tersebut bisa jadi memunculkan tudingan pada banyak faktor, semisal: kurang disiplin, penyelenggara lalai, sarana kurang memadai, dll. Tapi menjadi menarik untuk mengetahui ternyata pemahaman yang salah pada sebagian besar jama'ah terhadap ritual lempar jamarat menjadi memberi andil yang besar terjadinya bencana tersebut.


*Sebagian orang beranggapan bahwa melempar jumrah sama dengan melempar setan yang sedang diikat di tugu jamroh.* 


Dikarenakan keyakinan ini, sampai-sampai mereka mencari batu yang besar untuk melontar jumrah. Bahkan ada di antara mereka yang melempar dengan sendal, sepatu, botol, payung dan yang lainnya.


Maka tidak jarang keributan (bahkan terkadang bentrok) antarjama'ah terjadi akibat adanya sebagian yang terluka sampai berdarah oleh lemparan "mantab" dari jamaah di belakangnya.


Berdalil dengan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma saat menceritakan kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam,


عن ابن عباس رضي الله عنهما رفعه إلى النبي ‘ قال :” لما أتى إبراهيم خليل الله المناسك عرض له الشيطان عند جمرة العقبة فرماه بسبع حصيات حتى ساخ في الأرض ، ثم عرض له عند الجمرة الثانية فرماه بسبع حصيات حتى ساخ في الأرض ، ثم عرض له عند الجمرة الثالثة فرماه بسبع حصيات حتى ساخ في الأرض ” قال ابن عباس : الشيطان ترجمون ، وملة أبيكم إبراهيم تتبعون


Dari Ibnu Abbas radhiyallallahu’anhuma, beliau menisbatkan pernyataan ini kepada Nabi,

_“Ketika Ibrahim kekasih Allah melakukan ibadah haji, tiba-tiba Iblis menampakkan diri di hadapan beliau di jumrah’Aqobah. Lalu Ibrahim melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah . Iblis itu menampakkan dirinya kembali di jumrah yang kedua. Lalu Ibrahim melempari setan itu kembali dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah. Kemudian Iblis menampakkan dirinya kembali di jumrah ketiga. Lalu Ibrahim pun melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu masuk ke tanah“._


Ibnu Abbas kemudian mengatakan,


الشيطان ترجمون ، وملة أبيكم إبراهيم تتبعون


_“ Kalian merajam setan, bersamaan dengan itu (dengan melempar jumrah) kalian mengikuti agama ayah kalian Ibrahim“._

[HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim, beliau berdua menshahihkan riwayat ini. Shahih At-Targhib wat Tarhib (2/17), hadits nomor 1156]


Hanya saja orang-orang keliru dalam memahami perkataan Ibnu Abbas di atas. 


Menurut mereka makna “merajam” dalam perkataan tersebut adalah melempari setan secara konkrit. 


Artinya saat melempar jumrah, setan benar-benar sedang terikat di tugu jumrah dan merasa tersiksa dengan batu-batu lemparan yang mengenai tubuhnya.


Padahal bukan demikian yang dimaksudkan oleh Ibnu Abbas dalam perkataan beliau. 


==============

Merajam setan di sini *tidak dimaknai makna konkrit*, akan tetapi yang benar adalah *makna abstrak*. 


Artinya setan merasakan sakit dan terhina bila melihat seorang mukmin mengingat Allah dan taat menjalankan perintah Allah.


Pengertian ini yang sesuai dengan sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,


إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ ِلإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّه


_“Sesungguhnya, diadakannya thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa dan *melempar jumrah, adalah untuk mengingat Allah*.”_ (HR. Abu Daud no. 1888. Hadits hasan).


Jadi, meyakini melempar jumrah di dalam haji adalah melempari setan merupakan *pemahaman yang salah*. Bahkan berpangkal darinya telah timbul banyak korban jiwa. 


Mereka yang mestinya cukup melempar dengan kerikil, sampai-sampai memilih melempar dengan batu besar dan benda-benda lain dengan semangatnya (tanpa peduli lemparannya mengenai jamaah yang lain) dengan anggapan itu adalah hal utama yang menunjukkan kebenciannya pada setan. 


Perhatikan nasihat Imam Nawawi rahimahullah berikut,


ومن العبادات التي لا يفهم معناها : السعي والرمي ، فكلف العبد بهما ليتم انقياده ، فإن هذا النوع لاحظ للنفس فيه ، ولا للعقل ، ولا يحمل عليه إلا مجرد امتثال الأمر ، وكمال الانقياد فهذه إشارة مختصرة تعرف بها الحكمة في جميع العبادات والله أعلم انتهى كلام النووي


­_“Sebagian ibadah tidak diketahui maksud atau tujuannya, semacam sa’i dan melempar jumrah. Allah membebani seorang hamba untuk melakukan dua ibadah tersebut agar kepatuhannya kepada Allah semakin sempurna. Karena jiwa tidak mengetahui hikmah yang terkandung di dalamnya, tidak pula akal._


_Tidak ada motivasi yang mendorongnya untuk melakukan perintah tersebut, melainkan semata-mata mematuhi seruan Allah, serta ketundukan yang sempurna (kepada Allah ‘azza wa jalla). Dengan kaidah ringkas ini, kamu akan mengetahui hikmah semua ibadah.”_ (Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab)


Dengan demikian membekali diri dengan ilmu yang benar sebelum beribadah merupakan perkara yang sangat ditekankan. 


Semoga Allah mengkaruniakan kepada kita semua hidayah, ilmu, dan kebaikan yang banyak.


Allahu a'lam bish shawab.


Jakarta Selatan, 12 Oktober 2017


®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar